A. Redaksi Hadis
حد يث أ بي هريرة رضي ا الله عنه قل: قل رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم:
لأن يحتطب احدكم حز مة على ظهره خير من أن يسأل احدا فيعطيه او يمنعه
Abu hurairah r.a
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang itu pergi mencari kayu,
lalu di angkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk di jual di pasar)
maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik di beri atau
di tolak” (H.R Bukhari dan Muslim).
B. Penjelasan Hadis tentang Etos Kerja
Etos kerja ialah
suatu sikap jiwa seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan perhatian
yang penuh. Maka pekerjaaan itu akan terlaksana dengan sempurna walaupun banyak
kendala yang harus diatasi, baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung
jawab yang tinggi.
Ethos berasal dari
bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan
atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh
kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh,
budaya serta sistem nilai yang diyakininya. [2]
Dari kata etos ini
dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau
nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut
terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara
optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang
sesempurna mungkin.
Etos kerja seorang
muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil
keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim
berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta
untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan
janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke
jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
1.
Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat
menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari
hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini
diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله
الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ
أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها
وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah
yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah
jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat
– lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan
membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian
dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi
kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada
meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau
menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah
memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan
pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga
seringkali turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan
melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat
juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu
itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain
untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya
yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
2.
Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk
memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi
seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):”
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله ابن عمرو
بن العاص
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah
seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru
kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.
3.
Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang
dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana
disebutkan dalam hadist berikut :
عن أنس قال النبي صلى الله عليه وسلم :
” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له
به صدقة “
Dari Anas,
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam tanaman, atau
menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali
pasti bernilai sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini
banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya
kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya
umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang
bernilai amal jariyah.
4. Bekerja sebagai wujud penghargaan
terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat
menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak
akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk
bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari hadist berikut :
عن أنس رضي الله عنه
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة , فإن
استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها ”
Dari Anas RA, dari
Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu
terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka
tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim).[3]
4.
“APA PEKERJAAN YANG TERBAIK?”
Manakah pekerjaan
terbaik bagi seorang muslim? Apakah berdagang lebih utama dari lainnya? Ataukah
pekerjaan terbaik tergantung dari keadaan tiap individu?
Ada yang pernah
bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ
بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Wahai Rasulullah,
mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan
seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur
(diberkahi).” (HR. Ahmad 4:
141, hasan lighoirihi)
·
Pekerjaan yang Thoyyib
Kasb yang dimaksud dalam hadits di atas adalah usaha atau pekerjaan mencari
rizki. Asy Syaibani mengatakan bahwa kasb adalah mencari harta dengan
menempuh sebab yang halal. Sedangkan kasb thoyyib, maksudnya adalah
usaha yang berkah atau halal. Sehingga pertanyaan dalam hadits di atas
dimaksudkan ‘manakah pekerjaan yang paling diberkahi?’
Kita dapat mengambil
pelajaran penting bahwa para sahabat tidak bertanya manakah pekerjaan yang
paling banyak penghasilannya. Namun yang mereka tanya adalah manakah yang
paling thoyyib (diberkahi). Sehingga dari sini kita dapat tahu bahwa
tujuan dalam mencari rizki adalah mencari yang paling berkah, bukan mencari
manakah yang menghasilkan paling banyak. Karena penghasilan yang banyak belum
tentu barokah. Demikian penjelasan berharga dari Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al
Fauzan dalam Minhatul ‘Allam, 6: 10.
·
Pekerjaan dengan Tangan Sendiri
Ada dua mata
pencaharian yang dikatakan paling diberkahi dalam hadits di atas. Yang pertama
adalah pekerjaan dengan tangan sendiri. Hal ini dikuatkan pula dalam hadits
yang lain,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah
seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari
hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu
bekerja pula dengan hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072).
Bahkan sebagaimana disebutkan dalam hadits ini, mencari kerja dengan tangan
sendiri sudah dicontohkan oleh para nabi seperti Nabi Daud ‘alaihis salam.
Contoh : pekerjaan
dengan tangan adalah bercocok tanam, kerajinan, mengolah kayu, pandai besi, dan
menulis. Demikian disebutkan dalam Minhatul ‘Allam karya Syaikh
‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, 6: 9.
·
Jual Beli yang Mabrur
Mata pencaharian
kedua yang terbaik adalah jual beli yang mabrur. Kata Syaikh ‘Abdullah Al
Fauzan, jual beli yang mabrur adalah jual beli yang memenuhi syarat dan rukun
jual beli, terlepas dari jual beli yang bermasalah, dibangun di atas kejujuran,
serta menghindarkan diri dari penipuan dan pengelabuan. Lihat Minhatul
‘Allam Syarh Bulughil Maram, 6: 9.
·
Mana Saja Jual Beli yang Mabrur?
Sebagaimana
dijelaskan di atas, jual beli mabrur adalah jika memenuhi syarat dan rukun jual
beli. Apa saja syarat yang mesti diperhatikan? Di antaranya adalah: 1- ridho
antara penjual dan pembeli, 2- barang yang dijual mubah pemanfaatannya (bukan
barang haram), 3- uang dan barang bisa diserahterimakan, 4- tidak ada ghoror
(ketidakjelasan).
Adapun jual beli
yang bermasalah adalah: 1- jual beli yang mengandung ghoror seperti jual
beli dengan sistem ijon, 2- jual beli yang mengandung riba, 3- jual beli yang
mengandung dhoror (bahaya) pada pihak lain seperti menimbun barang, 4-
jual beli yang mengandung pengelabuan, 5- jual beli yang terlarang karena sebab
lain seperti jual beli pada shalat jum’at, jual beli di lingkungan masjid dan
jual beli barang yang digunakan untuk tujuan haram. Jual beli yang mabrur
berarti harus meninggalkan jual beli yang bermasalah ini.
·
Perintah Giat Bekerja
Hadits yang kita
kaji juga menunjukkan agar kita semangat dalam mencari nafkah dan bekerja
dengan menempuh jalan yang halal. Perintah ini juga disebutkan dalam firman
Allah,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15). Bahkan giat bekerja dalam rangka
mencari nafkah adalah jalan yang ditempuh para nabi ‘alaihimush sholaatu was
salaam. Sebagaimana disebutkan bahwa Nabi Daud mendapatkan penghasilan dari
hasil keringat tangannya sendiri. Sedangkan Nabi Zakariya ‘alaihis salam
bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan pernah menjadi pedagang
dengan menjualkan barang milik Khodijah radhiyallahu ‘anha.
·
Lantas Manakah Pekerjaan yang Terbaik?
Para ulama
berselisih pendapat dalam hal ini. Imam Al Mawardi, salah seorang ulama besar
Syafi’i berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah bercocok tanam karena
tawakkalnya lebih tinggi. Ulama Syafi’iyah lainnya yaitu Imam Nawawi
berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah pekerjaan dengan tangan, dan
bercocok tanam yang lebih baik dengan tiga alasan, yaitu termasuk pekerjaan
dengan tangan, tawakkal seorang petani itu tinggi dan kemanfaatannya untuk
orang banyak, termasuk pula manfaat untuk binatang dan burung.
Menurut penulis Taudhihul
Ahkam, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ali Bassam, pekerjaan terbaik
adalah disesuaikan pada keadaan setiap orang. Yang terpenting adalah setiap
pekerjaan haruslah berisi kebaikan dan tidak ada penipuan serta menjalani
kewajiban yang mesti diperhatikan ketika bekerja.
Kita dapat berdalil
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Bersemangatlah
melakukan hal yang bermanfaat untukmu dan meminta tolonglah pada Allah, serta
janganlah engkau malas” (HR. Muslim no.
2664). Dan ditambah lagi pekerjaan terbaik adalah yang banyak memberikan
kemanfaatan untuk orang banyak.
Moga Allah memberi
keberkahan pada usaha kita dalam mencari nafkah dan bekerja keras. Hanya
Allah yang memberi taufik.
5. Hadits Larangan Meminta-minta
حَدِيْثُ حَكِيْمِ ابْنِ حِزَامٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلّم، قَالَ :
(اليَدُالعُلْيَاخَيْرٌمِنَ اليَدِالسُفْلَى، وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ،
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ،
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ) أخرجه البخارى فى : ۲٤- كتاب الزكاة : ۱۸- باب لاصدقة إلاعن
ظهرغنى
“Hakiem bin Hizam r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan mulailah dengan
orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah yang dilakukan dalam
keadaan berkemampuan dan barang siapa yang memelihara dirinya daripada
meminta-minta, nescaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa
yang merasa berkemampuan, nescaya Allah akan memberinya kecukupan.” (Muttafaq
‘alaih).
حَدِيْثُ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّم : (لَأَنْ يَحْتَتِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةًعَلَى ظَهْرِهِ
خَيْرٌمِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًافَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ)
أخرجه البخارى فى : ۳٤- كتاب البيوع : ۱۵- باب كسب الرجل و عمله بيد
“Abuhurairah r.a. berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Jika seorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkat seikat kayu di
atas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar) maka itu lebih baik baginya
daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak. (Bukhari, Muslim)”.
2. Makna Hadis
Rasulullah
(s.a.w) mengutamakan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta dan
memerintahkan orang yang membelanjakan hartanya supaya memulainya untuk diri
sendiri, kemudian anak dan isterinya, lalu untuk keluarga dan kaum kerabatnya
yang paling dekat. Dari satu sisi Nabi (s.a.w) menganjurkan para hartawan untuk
menyedekahkan sebahagian hartanya yang tidak dia perlukan, tetapi dari sisi
yang lain pula baginda menganjurkan kaum fakir miskin menahan diri daripada
meminta-minta untuk memelihara kehormatan mereka. Baginda menjelaskan kepada mereka bahawa barang siapa yang meminta
kehormatan dan kemuliaan kepada Allah, nescaya Allah akan memberinya jalan
untuk meraihnya. Barang siapa yang mencari jalan agar dia tidak meminta-minta
kepada orang lain, nescaya Allah akan membukakan jalan kepadanya dan menganugerahkan
kepadanya penyebab-penyebab yangmenjadikannya berkemampuan, memperoleh
kehormatan, dan kemuliaan.[2]
3. Analisis Lafaz
اليَدُالعُلْيَا"”, maksudnya ialah tangan
orang yang memberi sedekah. Ini mengikut pendapat yang paling kuat,
kerana Nabi (s.a.w) sendiri yang mentafsirkannya. Menurut pendapat lain,
maksudnya ialah tangan yang tidak mahu menerima. Menurut pendapat yang
lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.
“خَيْر”, lebih utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan
lafaz “اليَدُ” yang berkedudukan
sebagai mubtada’, sedangkan lafaz “العُلْيَا ”
berkedudukan sebagai sifat kepada lafaz “اليَد ”
“مِنَ اليَدِالسُفْلَى”, menurut pendapat yang paling kuat adalah
“tangan yang menerima”. Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mahu
memberi.” Menurut pendapat yang lain lagi, “tangan yang meminta.”
“وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ”, mulailah memberikan
sedekahmu kepada orang yang wajib engkau nafkahi. Oleh itu, janganlah engkau
menyia-nyiakan mereka dan jangan pula mengutamakan orang lain ke atas mereka.
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى"” sedekah yang paling utama
ialah sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya setelah menyisakan
untuk keperluannya sendiri, agar kehidupannya tetap berjalan dengan baik dan
memberinya kecukupan hingga tidak perlu meminta-minta kepada orang lain, kerana
orang yang menyedekahkan seluruh harta miliknya sering kali menyesali
perbuatannya pada saat tidak ada gunanya lagi untuk penyesalan. Lafaz “ظهر” ditambahkan ke dalam kalimat ini untuk
mengukuhkan makna dan memberikan keluasan pengertian. Sabda Nabi (s.a.w): “عَنْ ظَهْرِغِنًى” bermaksud “غِنًى
عَنْ” (dalam keadaan berkemampuan).
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ"”, barang siapa yang
memelihara kehormatan dengan menjauhi perbuatan meminta-minta dan menerima apa
adanya, nescaya Allah akan memberinya rezeki berupa kehormatan dan dapat
menahan diri daripada perbuatan haram.
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ"”, barang siapa yang
memperlihatkan sikap berkemampuan dengan cara tidak mengharapkan harta orang
lain, nescaya Allah memberinya rezeki berupa sifat qana’ah di dalam hatinya dan
berkemampuan hingga tidak memerlukan bantuan orang lain.[3]
( Fiqh Hadis )
1.
Dianjurkan untuk berinfak.
2.
Keutamaan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta.
3.
Celaan terhadap perbuatan meminta-minta dan peringatan supaya tidak melakukan
perbuatan hina itu.
4.
Dianjurkan bersedekah kepada kaum
kerabat dan bersilaturahim.
5.
Hartawan dianjurkan untuk bersedekah.
6.
Sedekah yang paling utama ialah apabila seseorang sentiasa dalam keadaan berkemampuan
setelah mengeluarkan sedekahnya, tanpa memerlukan bantuan orang lain
setelah bersedekah.
7.
Orang miskin dianjurkan untuk memelihara kehormatannya dan tidak meminta-minta
kepada orang lain serta bertawakal yang penuh keyakinan kepada Allah
(s.w.t).[4]
5. Penjelasan
Larangan Meminta-minta
Mengemis atau
meminta-minta di-istilahkan dengan bahasa Arab sebagai “tasawwul ” Dalam Al-
Mu’jamul Wasith disebutkan :
“Tasawwala
(bentuk fi’il madhy dari tasawwul) artinya
meminta-minta atau meminta pemberian ”.[5] Tasawwul atau
meminta-minta yang dicela adalah meminta
harta orang lain untuk kepentingan sendiri atau
pribadi.
Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi Rahimahullah berkata:
“Sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya
meminta-minta) maksudnya adalah menuntut dari manusia agar mereka memberikan
sebagian harta mereka untuk dirinya ”.[6]
Al-Allamah Muqbil Al-Wadi’i Rahimahullah juga
menerangkan batasan tasawwul dalam kitab Dzammul
Mas’alah (Tercelanya Meminta-Minta):“Kelompok kedua (dari orang yang
buruk dalam penggunaan harta): adalah kaum yang
berusaha mencuri untuk mengambil harta zakat padahal mereka bukanlah golongan
yang berhak menerimanya. Kemudian harta itu
mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka”.[7]
Mengemis atau tasawwul juga bisa diartikan dengan upaya meminta
harta orang lain bukan untuk kemaslahatan agama
melainkan untuk kepentingan pribadi. Al-Hafizh Ibnu
Hajar Rahimahullah berkata: “Perkataan Al-Bukhari (Bab
Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah meminta-minta sesuatu
selain untuk kemaslahatan agama ”.
Dari keterangan di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa batasan
tasawwul atau “mengemis” adalah meminta untuk
kepentingan diri sendiri bukan untuk kemaslahatan agama.
2. Meminta Untuk Kepentingan Kaum
Muslimin
Jika
seseorang meminta harta untuk disalurkan kepada
orang yang membutuhkan atau meminta bantuan
untuk kepentingan kaum muslimin -bukan
untuk kepentingan diri sendiri- maka dia tidak termasuk orang yang
tasawwul walaupun dia adalah orang kaya.
Di antara pesan
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para pemimpin
perang ketika sebelum berangkat adalah perkataan beliau Shallallaahu
‘alaihi wasallam:
“ Jika mereka
(orang-orang kafir yang diperangi, pen)
tidak mau masuk Islam maka mintalah Al-Jizyah dari
mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi,
pen) mereka! Jika mereka tidak mau
menyerahkan Al-Jizyah maka mintalah pertolongan kepada Allah dan
perangilah mereka!” (HR. Muslim: 3261, Abu Dawud: 2245, Ibnu Majah: 2849)
Al-Mulla Ali
Al-Qari Rahimahullah berkata: “(Maka
mintalah dari mereka) dengan Hamzah dan perpindahannya (dalam I’lal, pen)
maksudnya adalah mohonlah dari mereka Al-Jizyah ” (Mirqatul Mafatih Syarh
Misykatil Mashabih: 12/71)
Maka dari hadits di
atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa meminta Al-Jizyah dari
orang-orang kafir tidak termasuk
tasawwul karena Al-Jizyah bukan untuk kepentingan
pribadi tetapi untuk kaum muslimin.
Al-Allamah
Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: “ Jika
Al-Jizyah telah diambil (dan diletakkan) ke
baitul mal kaum muslimin, maka penulis Zadul Mustaqni’
menjelaskan bahwa Al-Jizyah diperuntukkan pada pos-pos
umum kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami sebutkan ” (Syarh Zadul
Mustaqni’: pertemuan ke-138 halaman: 14)
Termasuk
dalam pengertian meminta bantuan untuk
kepentingan kaum muslimin adalah perkataan Dzulqarnain: “
Dzulqarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan
oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih
baik, maka bantulah aku dengan kekuatan,
agar aku membuatkan dinding antara kalian dan mereka ”
(QS. Al-Kahfi: 95)
Al-Allamah
Asy-Syaukani Rahimahullah berkata:
“(Maka
bantulah aku dengan kekuatan) maksudnya
dengan tenaga laki-laki kalian yang bekerja dengan tenaga
mereka, atau bantulah aku dengan alat-alat bangunan atau dengan kedua-duanya ”
(Fathul Qadir: 4/426)
Dzulqarnain
tidak bisa dikatakan telah melakukan
tasawwul atau mengemis sebagaimana Kaidah
jahil Si Abul Husain- karena dia
meminta bantuan bukan untuk kepentingan pribadi.
Yang semisal
perkataan Dzulqarnain adalah perkataan Abu Bakar Ash-ShiddiqRadhiyallaahu
‘anhu ketika beliau dibaiat menjadi khalifah. Beliau berkata:
“Amma ba’du Wahai manusia! Sesungguhnya aku menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah
orang yang terbaik di atara kalian. Maka jika aku benar maka bantulah
aku! Dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku!” (Al-Bidayah wan Nihayah:
5/269) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah
meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan beliau mimbar Sahl bin
Sa’d As-sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “ Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “ Perintahkan
anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku
bisa duduk di atasnya!” (HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801)
Al-Imam
Al-Bukhari Rahimahullah berkata: “Bab : Meminta bantuan
kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar
dan masjid ” (Shahihul Bukhari: 2/235)
Al-Imam Ibnu
Baththal Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini
terdapat pelajaran tentang bolehnya meminta bantuan
kepada ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang
manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang bersegera melakukannya
adalah disyukuri usahanya ” (Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari: 2/100)
Sehingga
kita boleh mengatakan: “ Bantulah aku membangun masjid ini atau
madrasah ini dan sebagainya!” atau meminta sumbangan
kepada kaum muslimin yang mampu untuk membangun masjid,
madrasah dan sebagainya.
2.6 Contoh
Fenomena Masa Kini
Fatwa
Apakah Boleh meminta minta untuk membangun masjid? Al-Lajnah Ad- Daimah lil
Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabiyyah pernah ditanya: Tanya “ Bolehkah meminta
bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau madrasah, apa
dalilnya?” Jawab “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong
-menolong di atas kebaikan dan taqwa. Allah Subhaanahu wa
ta’ala berfirman:“ Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2).[9]Memang pada itinya boleh meminta kalo
untuk kepentingan umat Islam tapi dengan cara yang baik dan sopan, tidak
memungut bantuan di tengah jalan atau di dalam bis kotas eperti yang sering
kita saksikan di sekitar kita. Hal seperti itu malah akan dapat menjatuhkan
martabat umat Islam sendiri.
Kesimpulan
kerja merupakan dasar dari sebuah kesuksesan
seseorang dan suatu bangsa, baik itu kesuksesan di dunia maupun kesuksesan di
akhirat. Oleh karena itu, marilah kita semua tanamkan etos kerja yang islami
didalam diri kita masing-masing. Lakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh,
total dan maksimal nikmati setiap aktifitas yang anda lakukan dan yang paling
penting niati semua itu karena Allah SWT.
Muslim yang
berprofesi sebagai pejabat tak akan korupsi karena dia niati untuk beribadah
bukan karena harta. Polisi akan mengayomi masyarakatnya dengan sungguh-sungguh,
karena dia meyakini apa yang dilakukannya itu akan dibalas dengan kebaikan oleh
Allah. Pedagang akan jujur karena dia yakin dengan begitu keuntungannya akan
berlipat dan rezekinya halal. Pelajar akan bersungguh-sungguh dalam menimba
ilmu, karena dia yakin bahwa niat baik yang dia tanamkan akan membawanya kepada
derajat yang lebih tinggi. B. Saran Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
sangat mengharapkan partisipasi dosen pembimbing, serta rekan-rekan mahasiswa
berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI Anonim,
1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Almadani. Anonim, 1990,
Mengangkat Kualitas
Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam. KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos
Kerja, Jakarta : Gema Insani. Iqbal, Sheikh Mohd, Misi Islam.Jakarta, Penerbit
Gunung Jati, 1982.
Madjid, Nurcholis,
Islam: Doktrin dan Peradaban.Jakarta, YayasanWakaf Paramadina, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar