MAWARIS DALAM ISLAM
Ilmu mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta
yang telah di tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian
menurut ahli mawarits adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa
melupakan hak seorang ahli waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu
mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara
yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip
dan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya
Ilmu mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya
adalah sama yaitu ilmu yang membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan
dengan harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Para waris dari golongan laki-laki yang di sepakati pewaris mereka ada
10 orang yang secara garis besar dan Ada 15 orang secara terperinci.
a.
Golongan dari laki-laki
1.
Anak laki-laki
2.
Putra dari anak laki-laki
dan seterusnya kebawah
3.
Ayah
4.
kakek yang shohih dan
seterusnya ke atas.
5.
saudara laki-laki seayah
dan seibu
6.
saudara laki-laki seayah
7.
saudara laki-laki seibu
8.
putra saudara laki-laki
seayah dan seibu
9.
putra saudara laki-laki
seayah
10. saudara laki-laki ayah yang seayah seibu
11. saudara laki-laki seayah
12. putra saudara laki-laki yang seayah seibu
13. putra saudara laki-laki ayah yang seayah
14. suami
15. orang yang laki laki yang membebaskan budak.
b.
Golongan dari perempuan
1.
Anak perempuan
2.
Ibu
3.
putri dari anak laki-laki
dan seterusnya ke bawah
4.
nenek yang shohih dan
seterusnya keatas ( ibu dari ibu )
5.
nenek yang shohih dan
seterusnya keatas ( ibu dari ayah )
6.
saudara perempuan seayah
dan seibu
7.
saudara perempuan seayah
8.
saudara perempuan seibu
9.
Istri
10. orang perempuan yang membebaskan budak[2]
· Sumber hukum iLmu mawarits dan hukum
mempelajarinya
Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
a.
Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai
ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mawarits. Dalam surat An-nisa’: 7-12, 176,
dan pada surah lainnya.
b.
Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud
bahwasanya Nabi Muhammad SAW,
bersabda : “Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan )
kitab Allah”.
c.
Ijma’ dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah
Wajib ( fardhu kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di
antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban
itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang
ikut berdosa.
· Tujuan Ilmu Mawarits
a.
Agar dapat melaksanakan
pembagian harta warisan kepada ahli warits yang berhak menerimanya sesuai
dengan ketentuan syari’at Islam
b.
Agar dapat di ketahui
secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa bagian
masing”.
c.
Agar dapat menentukan
bagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak terjadi perselisihan.
· Syarat pewarisan
a.
Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan
mempunyai harta maka akan di wariskan harta peninggalannya.karna sudah
merupakan ketentuan hukumnya.harta warisan tidak mungkin di bagikan sebelum
orang yang mempunyai harta peninggalan itu di nyatakan meninggal dunia secara
hakiki.
b.
Ahli waris harus masih
hidup
Ahli waris yang akan menerima harta warisan
dari orang yang meninggal dunia harus masih hidup. Artinya Apabila ada ahli
waris yang sudah meninggal itu tidak berhak mendapat harta peninggalan.
c.
Ahli waris harus jelas
posisinya
Masing-masing ahli waris harus dapat di
ketahui posisinya secara pasti, supaya bagian-bagian harta warisan itu dapat di
peroleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab ketentuan hukum pewrisan
selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkatan ahli waris.
· Rukun Pewarisan
a.
Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang
yang meninggalkan harta kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai
dengan syari’at Islam
b.
Waris
Yaitu Orang yang berhak menerima harta
peninggalan dari Muwarits karena sebab-sebab tertentu. Waris di sebut juga
dengan Ahli Waris.
c.
Miras
Yaitu Harta yang di tinggalkan oleh muwaris
yang akan di bagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya ( ahli waris ).
Miras itu bermacam-macam harta, misalnya tanah, rumah, uang, kendaraan, dan
lain sebagainya.
B.
Sebab-sebab Menerima harta warisan dan penghalang mendapatkan warisan.
Dalam Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah sebagai
berikut:
· Hubungan kekeluargaan
Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan
antara ahli waris laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang
kuat dan Lemah. Sesuai ketentuan yang
berlaku semuanya harta warisan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa’ ayat 7 :
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa’ ayat 7 :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ
مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat dari penerimaannya ada tiga
kelompok:
1.
Dzawil Furudh
Yaitu ahli waris yang memperoleh bagian
tertentu seperti suami mendapat seperdua bila orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan mendapat seperempat bila orang yang meninggal mempunyai
anak.
2.
Dzawil arham
Yaitu keluarga yang hubungan kekeluargaan nya
jauh, mereka tidak termasuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tetapi
mereka mendapat warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.
3.
Ahlul Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa harta
atau menghabiskan sisa, setelah ahli waris yang memperoleh bagian tertentu
mengambil bagian masing-masing.
· Hubungan perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan
adanya saling waris mewarisi. Akan tetapi, jika perkawinan sudah putus maka
gugurlah saling waris mewarisi, kecuali istri dalam keadaan masa iddah pada
talak raj’i.
· Hubungan wala’ ( memerdekakan budak )
Seseorang yang telah memerdekakan budak bisa
menyebabkan memperoleh warisan. Jika budak yang di merdekakan itu meninggal
dunia, maka orang yang memerdekakan itu berhak menerima warisan. Akan tetapi,
jika orang yang memerdekakan itu meninggal dunia maka budak yang telah di
merdekakan itu tidak berhak mendapatkan apa-apa.
·
Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak
mempunyai ahli waris, baik dari hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala’, maka
harta warisannya itu di berikan kepada kaum muslimin, yaitu diserahkan ke
baitul Mal untuk kemashlahatan umat islam.
Sebab-sebab Tidak menerima / Hilangnya Hak menerima Harta Warisan:
· Perbudakan
Seorang budak tidak dapat menerima warisan
dan tidak dapat memberikan warisan dari dan kepada semua keluarganya
(yang mempunyai hubungan nasab) yang meninggal dunia selama ia masih berstatus
budak. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam surat an-Nahl ayat 75. [3]
· Pembunuhan
Para ahli hukum islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan
oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya
untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
· Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama
yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang
mewariskan. Dasar hukum berlainan agama sebagai mawani’ul irsi adalah hadis
rasulullah saw yang artinya :
Orang islam tidak dapat mewarisi harta orang
kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.
· Berlainan Negara
Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki kepala negara sendiri, memiliki
angkatan bersenjata, dan memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud
berlainan negara adalah yang berlainan ketiga unsur tersebut. Berlainan negara
ada tiga kategori, yaitu berlainan menurut hukumnya, berlainan menurut
hakikatnya, dan berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya. Berlainan negara
antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi
penghalang untuk saling mewarisi, sebab semua negara islam mempunyai kesatuan
hukum, meskipun berlainan politik dan sistem pemerintahannya. Yang
diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang yang non muslim.[4]
C.
Pengelompokkan ahli waris
dan hak masing-masing.
-
Ahli Waris Yang masuk golongan ashabah ialah:
Anak Laki-laki
1.
Cucu laki-laki dan
seterusnya ke bawah
2.
Ayah
3.
Kakek Laki-laki dan
seterusnya keatas
4.
Saudara laki-laki seibu
5.
Saudara seayah
6.
Anak laki-laki dari saudara
seibu seayah
7.
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki seayah
8.
Paman seibu seayah
9.
Paman seayah
10. Anak laki-laki dari paman laki-laki seibu
seayah
11. Anak laki-laki dari paman saudara seayah
12. Laki-laki yang memerdekakan.
13. Perempuan yang memerdekakan
Ahli
waris ashabah ini menerima warisan berdasarkan peringatan di mulai dari
peringkat pertama Bila ada ashabah pada peringkat yang lebih dekat tentu
ashabah yang barada di peringkat berikutnya akan terhijab otomatis.
Mengenal kedudukan ayah dan kakek memang strategis, satu sisi mereka
adalah dzaul furudh tetapi disisi lain mereka juga jadi ashabah, tentu manakala
atau cucu laki-laki tidak ada, ayah dan kakek tetap menjadi dzaul furudh.
- Bahagian Ahli
Waris Dzaul Furudh
a.
Yang menerima setengah
(1/2)
1.
Anak perempuan apabila
hanya seorang
2.
Anak perempuan dari anak
laki-laki ( cucu perempuan ), Apabila hanya seorang, selama tidak ada anak
perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki
3.
Saudara perempuan seayah,
jika hanya seorang saja, dan tidak juga tsb pada point 1 dan 2
4.
Suami, jika tidak ada anak,
dan tidak ada cucu laki-laki dan anak laki-laki
b.
Yang menerima
seperempat (1/4)
1.
Suami, jika tidak ada anak
atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
2.
Istria tau beberapa orang
istri, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Yang menerima seperdelapan
(1/8)
1.
Istri atau beberapa orang
istri bila ada anak atau cucu dari anak laki-laki
d.
Yang mendapat dua pertiga
(2/3)
1.
Dua orang anak perempuan
atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2.
Dua orang cucu perempuan
atau lebih dari anak lak-laki, selama tidak ada anak perempuan atau saudara
laki-laki
3.
Dua orang saudara perempuan
sekandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan atau anak perempuan dari
anak laki-laki, atau saudara laki-laki mereka.
4.
Dua orang saudara perempuan
seayah atau lebih, jika tidak ada yang tsb dari point 1,2, 3
e.
Yang mendapat (1/3)
1.
Ibu, jika tidak terhalang,
jika tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Atau tidak pula meninggalkan
dua orang saudara baik laki-laki maupun perempuan , baik seibu seayah atau
bukan.
2.
Dua orang laki-laki atau
lebih, juga saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, jika tidak ada pokok
dan cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu).itulah yang di maksud dengan
“kalalah”. Selain itu jumlah mereka harus ada dua orang atau lebih baik mereka
lelaki atau perempuan.
f.
Yang menerima seperenam
(1/6)
1.
Ibu, jika ada anak, atau
cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang atau lebih dari saudara
laki-laki dan perempuan.
2.
Ayah, jika tidak ada anak
atau cucudari anak laki-laki
3.
Nenek perempuan jika tidak
ada ibu
4.
Cucu perempuan dari anak
laki-laki, jika bersama-sma dengan seoranganak perempuan sekandung.
5.
Saudara perempuan seayah,
jika bersama-sama dengan seorang saudara perempuan sekandung ayah.
-
Ahli waris zul arham
Ahli waris zul arham adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya
dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai zaul furudh dan tidak pula termasuk
dalam kelompok ashabahbila kerabat yang menjadi ashabah adalah laki-laki dalam
garis keturunan laki-laki, maka zaul arham itu adalah perempuan atau laki-laki
melalui garis keturunan perempuan.
Zul arham terdapat 4 kelompok garis keturunan
yaitu:
a.
Garis keturunan lurus ke
bawah yaitu:
·
Anak laki-laki atau
perempuan dan keturunannya.
·
Anak laki-laki atau
perempuan dari cucu perempuan dan keturunannya.
b.
Anak keturunan lurus ke
atas
·
Ayah dari ibu dan
seterusnya ke atas
·
Ayah dari ibunya ibu dan
seterusnya ke atas
·
Ayah dari ibunya ayah dan
seterusnya ke atas
c.
Garis keturunan kesampig
pertama, yaitu:
·
Anak perempuan dari saudara
laki-laki kandung atau seayah dan anaknya
·
Anak laki-laki atau
perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke bawah
d.
Garis keturunan kesamping
kedua yaitu:
·
Saudara perempuan (
kandung, seayah, atau ibu) dari ayah dan anaknya.
·
Saudara laki-laki atau
perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah.
·
Saudara laki-laki atau
perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ibu dan seterusnya ke bawah[5]
Allah SWT berfirman dalam surah al anfal ayat
75 yaitu:
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ
فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي
كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah
itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk
golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
-
Cara membagi Waris
Sebagaimana di ketahui bahwa pembagian dalam harta warisan telah di
tetapkan bagian masing-masing ahli waris, yaitu ada ahli waris yang menerima
bagian tertentu yang berupa seberapa dari warisan, di sebut furudhul
muqaddarah, dan ahli waris menerima seluruh yang tersisa setelah di ambil oleh
bagian ahli waris yang termasuk alquran-furudhul muqaddarah disebut ashabah.
Ashal masalah ialah angka yang menjadi dasar pembagian harta
warisan dalam sesuatu masalah yakni di bagi menjadi berapa bagiankah
keseluruhan harta pusaka itu, sehingga bagian masing-masing ahli waris dapat di
terimakan sebagaimana mestinya.
Cara menentukan angka ashal masalah ialah dengan memperhatikan
angka-angka pemecahan yang terdapat pada bagian-bagian ahli waris dzauL furudh
dalam suatu kasus, yaitu dengan mencari kelipatan persekutuan terkecil dari
pada angka-angka pembagi atau angka-angka pemecahan yang ada pada
bagian-bagian ahli waris.
Dilihat dari segi angka-angka pembagian masing-masing bagian ada, maka
penentuan ashal masalah ada 4 macam, sebagai berikut:
1.
Mudakhalah, Yaitu Apabila
angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada pada suatu kasus itu saling
memasuki, artinya angka pembagi yang kecil dapat di masukkan kedalam angka
pembagi yang besar, dengan kata lain angka pembagi yang besar dapat habis
dengan angka pembagi yang kecil.
2.
Mumatsalah, Yaitu apabila
angka-angka pembagian pada bagian-bagian yang ada dalam satu kasus itu sama
besarnya, maka cara menentukan ashal masalah ia dengan mengambil salah satu di
antara angka-angka pembagi yang ada.
3.
Mubayanah, Yaitu Apabila
angka-angka pembagian pada bagian yang ada dalam suatu kasus itu berbeda yang
satu dengan lain, maka pembagian yang satu tidak habis di bagi dengan angka
pembagi yang lain serta tidak mempunyai pembagi yang sama antara angka-angka
pembagian yang ada.
4.
Muwafaqah, Yaitu apabila
angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada dalam suatu kasus berbeda
antara yang satu yang lain, tetapi angka-angka pembagi tersebut mempunyai
pembagian yang sama.
D.
Gugurnya Ahli Waris
1.
Bagian Untuk nenek perempuan menjadi gugur
karena ada ibu, atau datuk laki-laki terhalang karena ada ayahnya.
2.
Bagian saudara ibu menjadi gugur karena ada
salah seorang dari 4 Macam ahli waris:
a.
Anak
b.
Cucu dariAnak laki-laki
c.
Ayah
d.
Datuk laki-laki
3.
Bagian saudara Laki-laki sekandung menjadi
gugur, karena ada salah seorang dari tiga ahli waris yaitu :
a.
Anak Laki-laki
b.
cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Ayah
4.
Bagian Anak Ayah( Saudara laki-laki atau
perempuan seayah ) manjadi gugur, karena adanya salah seorang tersebut di atas,
yakni anak laki-laki, cucu laki- laki dari anak laki-laki atau ayah.Dan jika
ada saudara laki-laki seayah seibu.
5.
Empat orang yang dapat menjadi ‘Ashobah kepada
saudara-saudara perempuan mereka Yakni:
a.
Anak laki-laki
b.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Saudara laki-laki sekandung
d.
Saudara laki-laki seAyah
E.
‘AUL DAN RAD
1.
Masalah ‘Aul
Ialah keadaan yang berlebihnya saham –saham
para di pecah-pecah sejumlah angka asal masalah pasti tidak cukup untuk
memenuhi saham-saham dzawil furudh.
Salah satu cara yang di lakukan untuk menyelesaikan ‘Aul adalah :
Setelah di ketahui bagian-bagian ashbul
furudh hendaknya di cari asal masalah, kemudian di cari saham-saham dari
masing-masing ashabul furudh itu di jumlah, maka asal masalah yang semula di
benarkan dengan menambahkan angka tertentu sehingga besarnya sama denganjumlah
saham-saham para ahli waris, dengan kata lain asal masalah yang baru di pakai
ialah jumlah saham-saham yang harus di terima oleh para ahli waris.
2.
Masalah Rad
Menurut fuqaha ialah pengambilan apa yang
tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada merekasesuai dengan besar
kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.
Rad tidak akan terjadi kecuali bila ada tiga rukun:
a.
Adanya pemilik Fard ( sahibul Fadh )
b.
Adanya sisa peninggalan
c.
Tidak adanya ahli waris
ashabah
Untuk menyelesaikan secara tuntas pembagian
harta warisan terdapat sisa lebih dan di radkan, atau mengandung masalah rad,
terlebih dahulu haruslah di teliti apakah dalam kasus di maksud terdapat ahli
waris yang ditolak menerima rad ataukah tidak.
Jika dari Antara ahli waris ashabul furudh
itu tidak terdapat seorang pun yang ditolak
menerima tambahan dari sisa lebih yang diradkan itu.[6]
KESIMPULAN
Harta seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih
hidup bila diantara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan, hubungan kewarisan
menurut islam ada dalam beberapa bentuk :
a)
Hubungan kekerabatan atau
nasab atau disebut juga hubungan darah
b)
Hubungan perkawinan
c)
Hubungan pemerdekaan hamba
d)
Hubungan sesama islam
Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
d.
Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai
ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mawarits. Dalam surat An-nisa’: 7-12, 176, dan
pada surah lainnya.
e.
Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud
bahwasanya Nabi Muhammad SAW,
bersabda : “Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan )
kitab Allah”.
f.
Ijma’ dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah
Wajib ( fardhu kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di
antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban
itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang
ikut berdosa.
DAFTAR PUSTAKA
Hafsah,
Fiqih, ( Medan : Cita Pustaka Media Perintis, 2011 )
Imran
Ali, Fikih, ( Medan : Cita Pustaka Media perintis, 2011 )
Drs. H. Moh. Muhibbin, hukum kewarisan islam, sinar grafika, 2009,
Jakarta.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Prenada Media,
2003, Jakarta.
Dep. Agama, Ilmu Fiqih, Jakarta, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar