Sabtu, 07 Juli 2018

ETOS KERJA DALAM ISLAM



A.    Redaksi Hadis
حد يث أ بي هريرة رضي ا الله عنه قل: قل رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم: لأن يحتطب احدكم حز مة على ظهره خير من أن يسأل احدا فيعطيه او يمنعه

Abu hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang itu pergi mencari kayu, lalu di angkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk di jual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik di beri atau di tolak” (H.R Bukhari dan Muslim).
B.     Penjelasan Hadis tentang Etos Kerja
Etos kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu akan terlaksana dengan sempurna walaupun banyak kendala yang harus diatasi, baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung jawab yang tinggi.
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. [2]
Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)

Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
1.         Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain.  Hal ini diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat  juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
2.          Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوترواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله ابن عمرو بن العاص
           Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.

3.        Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
 عن أنس قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة
            Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
4.      Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة , فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim).[3]
4.    “APA PEKERJAAN YANG TERBAIK?”
Manakah pekerjaan terbaik bagi seorang muslim? Apakah berdagang lebih utama dari lainnya? Ataukah pekerjaan terbaik tergantung dari keadaan tiap individu?
Ada yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ  عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad 4: 141, hasan lighoirihi)


·         Pekerjaan yang Thoyyib
Kasb yang dimaksud dalam hadits di atas adalah usaha atau pekerjaan mencari rizki. Asy Syaibani mengatakan bahwa kasb adalah mencari harta dengan menempuh sebab yang halal. Sedangkan kasb thoyyib, maksudnya adalah usaha yang berkah atau halal. Sehingga pertanyaan dalam hadits di atas dimaksudkan ‘manakah pekerjaan yang paling diberkahi?
Kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa para sahabat tidak bertanya manakah pekerjaan yang paling banyak penghasilannya. Namun yang mereka tanya adalah manakah yang paling thoyyib (diberkahi). Sehingga dari sini kita dapat tahu bahwa tujuan dalam mencari rizki adalah mencari yang paling berkah, bukan mencari manakah yang menghasilkan paling banyak. Karena penghasilan yang banyak belum tentu barokah. Demikian penjelasan berharga dari Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan dalam Minhatul ‘Allam, 6: 10.

·         Pekerjaan dengan Tangan Sendiri
Ada dua mata pencaharian yang dikatakan paling diberkahi dalam hadits di atas. Yang pertama adalah pekerjaan dengan tangan sendiri. Hal ini dikuatkan pula dalam hadits yang lain,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu bekerja pula dengan hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072). Bahkan sebagaimana disebutkan dalam hadits ini, mencari kerja dengan tangan sendiri sudah dicontohkan oleh para nabi seperti Nabi Daud ‘alaihis salam.

Contoh : pekerjaan dengan tangan adalah bercocok tanam, kerajinan, mengolah kayu, pandai besi, dan menulis. Demikian disebutkan dalam Minhatul ‘Allam karya Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, 6: 9.

·         Jual Beli yang Mabrur
Mata pencaharian kedua yang terbaik adalah jual beli yang mabrur. Kata Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan, jual beli yang mabrur adalah jual beli yang memenuhi syarat dan rukun jual beli, terlepas dari jual beli yang bermasalah, dibangun di atas kejujuran, serta menghindarkan diri dari penipuan dan pengelabuan. Lihat Minhatul ‘Allam Syarh Bulughil Maram, 6: 9.
·         Mana Saja Jual Beli yang Mabrur?
Sebagaimana dijelaskan di atas, jual beli mabrur adalah jika memenuhi syarat dan rukun jual beli. Apa saja syarat yang mesti diperhatikan? Di antaranya adalah: 1- ridho antara penjual dan pembeli, 2- barang yang dijual mubah pemanfaatannya (bukan barang haram), 3- uang dan barang bisa diserahterimakan, 4- tidak ada ghoror (ketidakjelasan).
Adapun jual beli yang bermasalah adalah: 1- jual beli yang mengandung ghoror seperti jual beli dengan sistem ijon, 2- jual beli yang mengandung riba, 3- jual beli yang mengandung dhoror (bahaya) pada pihak lain seperti menimbun barang, 4- jual beli yang mengandung pengelabuan, 5- jual beli yang terlarang karena sebab lain seperti jual beli pada shalat jum’at, jual beli di lingkungan masjid dan jual beli barang yang digunakan untuk tujuan haram. Jual beli yang mabrur berarti harus meninggalkan jual beli yang bermasalah ini.

·         Perintah Giat Bekerja
Hadits yang kita kaji juga menunjukkan agar kita semangat dalam mencari nafkah dan bekerja dengan menempuh jalan yang halal. Perintah ini juga disebutkan dalam firman Allah,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ          
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15). Bahkan giat bekerja dalam rangka mencari nafkah adalah jalan yang ditempuh para nabi ‘alaihimush sholaatu was salaam. Sebagaimana disebutkan bahwa Nabi Daud mendapatkan penghasilan dari hasil keringat tangannya sendiri. Sedangkan Nabi Zakariya ‘alaihis salam bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan pernah menjadi pedagang dengan menjualkan barang milik Khodijah radhiyallahu ‘anha.

·         Lantas Manakah Pekerjaan yang Terbaik?
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Imam Al Mawardi, salah seorang ulama besar Syafi’i berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah bercocok tanam karena tawakkalnya lebih tinggi. Ulama Syafi’iyah lainnya yaitu Imam Nawawi berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah pekerjaan dengan tangan, dan bercocok tanam yang lebih baik dengan tiga alasan, yaitu termasuk pekerjaan dengan tangan, tawakkal seorang petani itu tinggi dan kemanfaatannya untuk orang banyak, termasuk pula manfaat untuk binatang dan burung.
Menurut penulis Taudhihul Ahkam, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ali Bassam, pekerjaan terbaik adalah disesuaikan pada keadaan setiap orang. Yang terpenting adalah setiap pekerjaan haruslah berisi kebaikan dan tidak ada penipuan serta menjalani kewajiban yang mesti diperhatikan ketika bekerja.
Kita dapat berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Bersemangatlah melakukan hal yang bermanfaat untukmu dan meminta tolonglah pada Allah, serta janganlah engkau malas” (HR. Muslim no. 2664). Dan ditambah lagi pekerjaan terbaik adalah yang banyak memberikan kemanfaatan untuk orang banyak.
Moga Allah memberi keberkahan pada usaha kita dalam mencari nafkah dan bekerja keras. Hanya Allah yang memberi taufik.
5.    Hadits Larangan Meminta-minta
حَدِيْثُ حَكِيْمِ ابْنِ حِزَامٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلّم، قَالَ :           (اليَدُالعُلْيَاخَيْرٌمِنَ اليَدِالسُفْلَى، وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ) أخرجه البخارى فى : ۲٤- كتاب الزكاة : ۱۸- باب لاصدقة إلاعن ظهرغنى
Hakiem bin Hizam r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah yang dilakukan dalam keadaan berkemampuan dan barang siapa yang memelihara dirinya daripada meminta-minta, nescaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa yang merasa berkemampuan, nescaya Allah akan memberinya kecukupan.” (Muttafaq ‘alaih).

حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم : (لَأَنْ يَحْتَتِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةًعَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌمِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًافَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ)    أخرجه البخارى فى : ۳٤- كتاب البيوع : ۱۵- باب كسب الرجل و عمله بيد       
Abuhurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika seorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak. (Bukhari, Muslim)”.
2.         Makna Hadis
Rasulullah (s.a.w) mengutamakan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta dan memerintahkan orang yang membelanjakan hartanya supaya memulainya untuk diri sendiri, kemudian anak dan isterinya, lalu untuk keluarga dan kaum kerabatnya yang paling dekat. Dari satu sisi Nabi (s.a.w) menganjurkan para hartawan untuk menyedekahkan sebahagian hartanya yang tidak dia perlukan, tetapi dari sisi yang lain pula baginda menganjurkan kaum fakir miskin menahan diri daripada meminta-minta untuk memelihara kehormatan mereka. Baginda menjelaskan kepada mereka bahawa barang siapa yang meminta kehormatan dan kemuliaan kepada Allah, nescaya Allah akan memberinya jalan untuk meraihnya. Barang siapa yang mencari jalan agar dia tidak meminta-minta kepada orang lain, nescaya Allah akan membukakan jalan kepadanya dan menganugerahkan kepadanya penyebab-penyebab yangmenjadikannya berkemampuan, memperoleh kehormatan, dan kemuliaan.[2]
3.         Analisis Lafaz
اليَدُالعُلْيَا"”, maksudnya ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini mengikut pendapat yang paling kuat, kerana Nabi (s.a.w) sendiri yang mentafsirkannya. Menurut pendapat lain, maksudnya ialah tangan yang tidak mahu menerima. Menurut pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.
خَيْر, lebih utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan lafaz “اليَدُ” yang berkedudukan sebagai mubtada’, sedangkan lafaz “العُلْيَا  ” berkedudukan sebagai sifat kepada lafaz “اليَد
مِنَ اليَدِالسُفْلَى”, menurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”. Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mahu memberi.” Menurut pendapat yang lain lagi, “tangan yang meminta.”
 “وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ”, mulailah memberikan sedekahmu kepada orang yang wajib engkau nafkahi. Oleh itu, janganlah engkau menyia-nyiakan mereka dan jangan pula mengutamakan orang lain ke atas mereka.
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى"” sedekah yang paling utama ialah sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya setelah menyisakan untuk keperluannya sendiri, agar kehidupannya tetap berjalan dengan baik dan memberinya kecukupan hingga tidak perlu meminta-minta kepada orang lain, kerana orang yang menyedekahkan seluruh harta miliknya sering kali menyesali perbuatannya pada saat tidak ada gunanya lagi untuk penyesalan. Lafaz “ظهر” ditambahkan ke dalam kalimat ini untuk mengukuhkan makna dan memberikan keluasan pengertian. Sabda Nabi (s.a.w): “عَنْ ظَهْرِغِنًى” bermaksud “غِنًى عَنْ” (dalam keadaan berkemampuan).
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ"”, barang siapa yang memelihara kehormatan dengan menjauhi perbuatan meminta-minta dan menerima apa adanya, nescaya Allah akan memberinya rezeki berupa kehormatan dan dapat menahan diri daripada perbuatan haram.
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ"”, barang siapa yang memperlihatkan sikap berkemampuan dengan cara tidak mengharapkan harta orang lain, nescaya Allah memberinya rezeki berupa sifat qana’ah di dalam hatinya dan berkemampuan hingga tidak memerlukan bantuan orang lain.[3]
( Fiqh Hadis )
1.          Dianjurkan untuk berinfak.
2.          Keutamaan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta.
3.          Celaan terhadap perbuatan meminta-minta dan peringatan supaya tidak melakukan perbuatan hina itu.
4.           Dianjurkan bersedekah kepada kaum kerabat dan bersilaturahim.
5.          Hartawan dianjurkan untuk bersedekah.
6.      Sedekah yang paling utama ialah apabila seseorang sentiasa dalam keadaan berkemampuan setelah mengeluarkan sedekahnya, tanpa memerlukan bantuan orang lain setelah bersedekah.
7.      Orang miskin dianjurkan untuk memelihara kehormatannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain serta bertawakal yang penuh keyakinan kepada Allah (s.w.t).[4]

5.  Penjelasan Larangan Meminta-minta
Mengemis atau meminta-minta di-istilahkan dengan bahasa Arab sebagai “tasawwul ” Dalam Al- Mu’jamul Wasith disebutkan  :

“Tasawwala  (bentuk fi’il madhy  dari  tasawwul)  artinya  meminta-minta  atau  meminta pemberian ”.[5] Tasawwul  atau  meminta-minta  yang  dicela  adalah  meminta  harta  orang  lain  untuk kepentingan sendiri atau pribadi.                                         Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi  Rahimahullah berkata: “Sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya meminta-minta) maksudnya adalah menuntut dari manusia agar mereka memberikan sebagian harta mereka untuk dirinya ”.[6]                                                                                                               Al-Allamah  Muqbil  Al-Wadi’i Rahimahullah juga  menerangkan  batasan  tasawwul  dalam  kitab Dzammul Mas’alah (Tercelanya Meminta-Minta):“Kelompok kedua (dari orang yang buruk  dalam  penggunaan  harta): adalah  kaum  yang berusaha mencuri untuk mengambil harta zakat padahal mereka bukanlah golongan yang berhak  menerimanya. Kemudian  harta  itu  mereka  gunakan  untuk  kepentingan  pribadi mereka”.[7]                                                         Mengemis atau  tasawwul juga bisa diartikan dengan upaya  meminta harta orang lain bukan  untuk  kemaslahatan  agama  melainkan  untuk  kepentingan  pribadi. Al-Hafizh  Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Perkataan  Al-Bukhari (Bab Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah  meminta-minta sesuatu selain untuk kemaslahatan agama ”.                                                                                    Dari keterangan di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa batasan  tasawwul atau “mengemis”  adalah  meminta  untuk  kepentingan  diri sendiri bukan  untuk  kemaslahatan agama.

2.      Meminta Untuk Kepentingan Kaum Muslimin

Jika  seseorang  meminta  harta  untuk  disalurkan kepada  orang  yang  membutuhkan atau  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin  -bukan  untuk  kepentingan  diri sendiri- maka dia tidak termasuk orang yang tasawwul walaupun dia adalah orang kaya.
Di antara pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat adalah perkataan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“ Jika mereka (orang-orang  kafir  yang  diperangi,  pen)  tidak  mau  masuk  Islam  maka mintalah Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi, pen)  mereka! Jika  mereka  tidak  mau  menyerahkan  Al-Jizyah  maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka!” (HR. Muslim: 3261, Abu Dawud: 2245, Ibnu Majah: 2849)
Al-Mulla Ali Al-Qari  Rahimahullah berkata: “(Maka  mintalah  dari mereka) dengan Hamzah dan perpindahannya (dalam I’lal, pen) maksudnya adalah mohonlah dari mereka Al-Jizyah ” (Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 12/71)
Maka dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa  meminta Al-Jizyah dari orang-orang  kafir     tidak  termasuk  tasawwul  karena  Al-Jizyah  bukan  untuk  kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.
Al-Allamah Asy-Syinqithi  Rahimahullah berkata: “ Jika Al-Jizyah  telah  diambil  (dan  diletakkan)  ke  baitul  mal  kaum  muslimin, maka  penulis Zadul Mustaqni’ menjelaskan bahwa Al-Jizyah  diperuntukkan  pada  pos-pos  umum  kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami sebutkan ” (Syarh Zadul Mustaqni’: pertemuan ke-138 halaman: 14)
Termasuk  dalam  pengertian  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin adalah perkataan Dzulqarnain: “ Dzulqarnain  berkata: “Apa  yang  telah  dikuasakan  oleh  Rabbku  kepadaku  terhadapnya adalah  lebih  baik, maka  bantulah  aku  dengan  kekuatan,  agar  aku  membuatkan  dinding antara kalian dan mereka ”  (QS. Al-Kahfi: 95)
Al-Allamah Asy-Syaukani  Rahimahullah berkata:
“(Maka  bantulah  aku  dengan  kekuatan)  maksudnya  dengan  tenaga  laki-laki kalian  yang bekerja dengan tenaga mereka, atau bantulah aku dengan alat-alat bangunan atau dengan kedua-duanya ” (Fathul Qadir: 4/426)
Dzulqarnain  tidak  bisa  dikatakan  telah  melakukan  tasawwul  atau  mengemis  sebagaimana  Kaidah  jahil  Si  Abul  Husain-  karena  dia  meminta  bantuan  bukan  untuk kepentingan pribadi.
Yang semisal perkataan Dzulqarnain adalah perkataan Abu Bakar Ash-ShiddiqRadhiyallaahu ‘anhu ketika beliau dibaiat menjadi khalifah. Beliau berkata:  “Amma ba’du Wahai manusia! Sesungguhnya aku menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah orang yang terbaik di atara kalian. Maka jika aku benar  maka bantulah aku! Dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku!” (Al-Bidayah wan Nihayah: 5/269) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan beliau mimbar Sahl bin Sa’d As-sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “ Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!” (HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801)
Al-Imam Al-Bukhari  Rahimahullah berkata: “Bab : Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar dan masjid ” (Shahihul Bukhari: 2/235)
Al-Imam Ibnu Baththal  Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang  bolehnya  meminta  bantuan  kepada  ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang bersegera melakukannya adalah disyukuri usahanya ” (Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari: 2/100)
Sehingga  kita  boleh  mengatakan: “ Bantulah aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya!”  atau  meminta  sumbangan  kepada  kaum  muslimin  yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya.
2.6  Contoh Fenomena Masa Kini
           Fatwa Apakah Boleh meminta minta untuk membangun masjid? Al-Lajnah Ad- Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabiyyah pernah ditanya: Tanya “ Bolehkah meminta bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau madrasah, apa dalilnya?” Jawab “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong -menolong di atas kebaikan  dan  taqwa. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman:“ Dan tolong-menolonglah  kalian  dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2).[9]Memang pada itinya boleh meminta kalo untuk kepentingan umat Islam tapi dengan cara yang baik dan sopan, tidak memungut bantuan di tengah jalan atau di dalam bis kotas eperti yang sering kita saksikan di sekitar kita. Hal seperti itu malah akan dapat menjatuhkan martabat umat Islam sendiri.


Kesimpulan
             kerja merupakan dasar dari sebuah kesuksesan seseorang dan suatu bangsa, baik itu kesuksesan di dunia maupun kesuksesan di akhirat. Oleh karena itu, marilah kita semua tanamkan etos kerja yang islami didalam diri kita masing-masing. Lakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh, total dan maksimal nikmati setiap aktifitas yang anda lakukan dan yang paling penting niati semua itu karena Allah SWT.       
Muslim yang berprofesi sebagai pejabat tak akan korupsi karena dia niati untuk beribadah bukan karena harta. Polisi akan mengayomi masyarakatnya dengan sungguh-sungguh, karena dia meyakini apa yang dilakukannya itu akan dibalas dengan kebaikan oleh Allah. Pedagang akan jujur karena dia yakin dengan begitu keuntungannya akan berlipat dan rezekinya halal. Pelajar akan bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu, karena dia yakin bahwa niat baik yang dia tanamkan akan membawanya kepada derajat yang lebih tinggi. B. Saran Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan partisipasi dosen pembimbing, serta rekan-rekan mahasiswa berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah

DAFTAR PUSTAKA
 Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI Anonim, 1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Almadani. Anonim, 1990,
Mengangkat Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam. KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani. Iqbal, Sheikh Mohd, Misi Islam.Jakarta, Penerbit Gunung Jati, 1982.
Madjid, Nurcholis, Islam: Doktrin dan Peradaban.Jakarta, YayasanWakaf Paramadina, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar